Kamis, 10 November 2011

KEGAGALAN PASAR

Oleh: Titi Susanti

Dalam ekonomi mikro, dapat ditemukan istilah kegagalan pasar, ada beberapa definisi yang menjelaskan tentang kegagalan pasar antara lain, yaitu:

Prijono Tjiptoherijanto dan Mandala Manurung (2010:33) mengartikan bahwa kegagalan pasar posisi ketika pasar gagal membawa perekonomian dalam kondisi optimal pareto.

Sadono Sukirno (2005:44) menjelaskan bahwa kegagalan pasar adalah ketidakmampuan dari suatu perekonomian pasar untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan keteguhan dalam kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.

Kenneth Arrow (1969) mendefinisikan kegagalan pasar sebagai sebuah situasi di mana ekonomi swasta tidak memiliki insentif untuk menciptakan pasar potensial yang baik, dan ketidakmampuan ini adalah hasil yang baik dalam hilangnya efisiensi.

Jadi kegagalan pasar adalah kondisi ketika pasar tidak mampu mencapai kondisi efisien secara ekonomi atau yang biasa disebut ‘optimal pareto’. Lodyard (1987) menyatakan bahwa “cara terbaik untuk mengetahui kegagalan pasar yang pertama harus memahami kesuksesan pasar”. Pasar gagal mencapai kondisi sempurna atau seimbang karena belum mampu menjadi alokasi yang efisien (kesuksesan pasar). Syarat pasar dapat dikategorikan mampu menjadi alokasi yang efisien antara lain:

1.      Struktur Pasar adalah Persaingan Sempurna
Persaingan sempurna menggambarkan pasar dalam kondisi tidak ada peserta yang memiliki kekuatan pasar (market power) cukup besar untuk menetapkan harga pada produk homogen yang dijual di pasar.
2.      Barang atau Jasa yang Dipertukarkan adalah Barang atau Jasa yang Privat.
Barang atau jasa privat bersifat rival dan eksklusif sehingga tidak dapat dikonsumsi dalam waktu yang bersamaan.
3.      Pasar tidak Dibatasi oleh Dimensi Waktu dan Tempat
Pasar tidak dibatasi oleh dimensi waktu dan tempat membuat proses penyesuaian diri dari satu kondisi keseimbangan ke keseimbangan lainnya dapat berjalan seketika sehingga mekanisme pasar dapat mengabaikan biaya transportasi maupun biaya transaksi.  

Kegagalan pasar dapat dimaknai bahwa konsumsi barang atau jasa secara ekonomi terlalu rendah (underconsumtion) atau terlalu banyak (overconsumtion) ketika dilihat dari sisi permintaan. Sedangkan dari sisi penawaran kegagalan pasar terjadi ketika penawaran barang terlalu sedikit (undersupply) atau terlalu banyak (oversupply). Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pasar adalah: (1) informasi yang tidak sempurna, (2) kekuatan monopoli, (3) eksternalitas, (4) barang publik dan (5) komoditi altruis[1]. Informasi yang tidak sempurna. Informasi yang tidak sempurna dapat menyebabkan alokasi sumber daya menjadi tidak efisien. Struktur pasar yang bertolak belakang dengan pasar persaingan sempurna adalah monopoli, karena dalam pasar monopoli hanya terdapat satu produsen yang menghasilkan keseluruhan produk industri.  Selain monopoli juga ada stuktur pasar lain yang juga merugikan konsumen yaitu pasar olgopoli. Pasar oligopoli hanya terdiri dari seelompok kecil perusahaan raksasa yang menguasai sebagian pasar. Eksternalitas adalah manfaat yang dinikmati atau biaya/kerugian yang harus ditanggung masyarakat sebagai dampak keputusan yang diambil satu pelaku ekonomi. Eksternalitas hanya mengakibatkan keseimbangan pasar bukan keseimbangan yang efisien. Output keseimbangan bisa terlalu banyak atau terlalu sedikit sehingga harga keseimbangan bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari harga seharusnya. Kondisi barang publik yang bersifat nonrival dan noneksklusif yang menempatkan sifat konsumsi untuk pengguna adalah nol menimbulkan adanya pemboncengan gratis free rider dalam penyediaan barang publik. Komoditi altruis adalah komoditi yang permintaan atau penawarannya muncul hanya karena alasan kemanusiaan.
Kecacatan mekanisme pasar yang terjadi dalam kegagalan pasar inilah yang menyebabkan pemerintah melakukan campur tangan untuk[2]:

1.      Menjamin kesamaan hak antar individu sehingga terhindar dari eksploitasi pihak lain.
2.      Menjaga stabilitas ekonomi dalam rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat.
3.      Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan agar praktek monopoli tidak merugikan.
4.      Menyediakan barang publik untuk mempertinggi kesejahteraan sosial masyarakat.
5.      Mengelola eksternalitas agar biaya sosial dapat ditekan sampai titik minimum dan manfaat sosial tetap dapat dimaksimalkan.

Beberapa bentuk intervensi yang pada umumnya dilakukan oleh pemerintah yaitu, kontrol harga, kontrol kuantitas, pajak dan subsidi, serta regulasi. Pemerintah menentukan penetapan harga jual tertinggi (ceiling price) dan harga jual minimum (floor price). Harga jual tertinggi biasanya ditentukan lebih rendah dari harga pasar agar pemerintah dapat memperbaiki kesejahteraan pengguna (konsumen). Sedangkan harga jual minimum biasanya ditentukan lebih tinggi dari dari harga keseimbangan pasar agar dapat memperbaiki kesejahteraan pemasok (produsen). Kontrol kuantitas yang dilakukan yaitu, mengontrol agar hasil akhir dari kuota sama dengan hasil akhir kahir kontrol harga karena jika kuantitas berubah maka harga juga akan berubah. Sebenarnya, pajak adalah transfer sumber daya dari sektor privat (rumah tangga atau perusahaan) ke sektor publik (pemerintah) yang nantinya akan kembali ke masyarakat berupa subsidi (pajak negatif) meskipun nanti akan didapat secara tidak langsung. Regulasi adalah keputusan pemerintah dalam bidang hukum untuk memperbaiki eisiensi alokasi agar pelaku ekonomi menyesuaikan perilaku yang sesuai dengan keputusan pemerintah. Hal ini tidak lain seperti yang menjadi tujuan utama pemerintah yaitu memperbaiki tingkat kesejahteraan sosial. Tetapi dalam pelaksanaannya pemerintah bukanlah sebagai stimulus dalam proses efisiensi ekonomi melainkan membuat alokasi sumber daya menjadi lebih buruk. Kegagalan ini berkaitan dengan perilaku rumah tangga atau perusahaan yang bertindak sebagai rent seeker demi memperbesar keuntungan individu. Stiglitz (2000) mengemukakan empat faktor yang menyebabkan kegagalan pemerintah, yaitu faktor keterbatasan informasi, keterbatasan kemampuan mengendalikan respons sektor swasta, keterbatasan dalam kontrol birokrasi dan faktor politik. Ratusan institusi pemerintah yang dimiliki oleh sebuah negara baik di pusat maupun daerah biasanya menyebabkan proses informasi menjadi tidak sempurna sehingga beberapa program yang bertujuan baik dalam pross pelaksanaannya menjadi berdampak buruk. Selain itu, pemerintah juga tidak dapat mengontrol pengeluaran pada berbagai tingkatan maka respons dari sektor swasta tidak selalu berhasil dikendalikan. Meskipun pemerintah berhasil memutuskan program-program tetapi proses pelaksanaan yang ditentukan oleh kemampuan institusi pemerintah, dalam hal menyusun detail pemerintah, pelaksanaan dan evaluasi. Selain itu pemerintah juag harus menyiapkan undang-undang hal ini tidak selalu dapat dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah yang berkuasa. Pada umumnya pertimbangan faktor politis yang digunakan untuk memutuskan sebuah program pemerintah sehingga faktor efisiensi seringkali dikesampingkan.      
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegagalan pasar yang terjadi dalam realita ekonomi di lapangan merupakan hal yang normal akibat tingginya syarat yang harus dipenuhi untuk menghasilkan efisiensi tertinggi. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah harus turut andil untuk mengatasi kegagalan pasar dengan kebijakan pemerintah sebagai aparatur negara. Mulai dari menyeimbangkan kekuatan pasar agar tidak terjadi monopoli ataupun ologopoli berlebihan melalui kebijakan dalam harga, pajak dan regulasi, hingga mengatur subsidi sebagai bentuk dari negative tax. Tetapi dalam proses pelaksanaannya negara ternyata belum mampu membuat pasar menuju ‘optimal pareto’ dikarenakan oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki dan faktor politik yang kental dalam perilaku pemerintahannya. Sehingga selanjutnya diharapkan negara harus selalu melakukan perbaikan pengambilan keputusan kebijakan untuk memenuhi tujuan ekonomi negara yang sebenarnya yaitu menyejahterakan rakyatnya.

Referensi:
Mandala, dkk, Paradigma Administrasi Publik dan Perkembangannya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2010.
Prathama, Rahardja, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Jakarta, 2008.
Sadono, Sukirno,  Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Stiglitz, E. J, Economic of The Public Sector, Norton and Company, 2000.


[1] Prijono Tjiptoherijanto dan Mandala Manurung, Paradigma Administrasi Publik dan Perkembangannya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2010, hlm 39-42.
[2] Prathama Rahardja, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi dan Makroekonomi), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Jakarta, 2008, hlm. 45. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar